Usury

Riba adalah salah satu istilah dalam dunia keuangan yang sering terdengar, terutama ketika membahas transaksi yang berkaitan dengan bunga atau pinjaman. Dalam perspektif Islam, riba merupakan sesuatu yang sangat dilarang dan dianggap merugikan. Tapi, sebenarnya apa itu riba? Dari mana asal-usulnya? Dan bagaimana praktik ini berkembang dari masa ke masa dalam sistem keuangan global? Yuk, kita bahas lebih dalam!

Apa Itu Riba?

Secara sederhana, riba bisa diartikan sebagai tambahan atau kelebihan yang dibebankan atas jumlah pokok utang dalam transaksi pinjaman. Dalam bahasa Arab, “riba” berasal dari kata raba yang berarti bertambah atau tumbuh. Dalam konteks keuangan, riba merujuk pada segala bentuk keuntungan tambahan yang diperoleh tanpa adanya pertukaran barang atau jasa yang setara.

Dalam Islam, riba bukan cuma dianggap sebagai praktik yang tidak adil, tapi juga dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang paling sering dikutip terkait larangan riba adalah QS. Al-Baqarah ayat 275: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ayat ini jadi dasar utama dalam sistem ekonomi syariah, yang menolak segala bentuk bunga dalam transaksi keuangan.

Asal-Usul Riba

Praktik riba ternyata bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa riba sudah dikenal sejak zaman kuno. Di masa Mesopotamia, sekitar 3000 SM, praktik peminjaman uang dengan bunga sudah dilakukan. Waktu itu, orang-orang meminjamkan biji-bijian atau logam dengan perjanjian bahwa si peminjam akan mengembalikannya lebih banyak dari yang dipinjam. Jadi, sistem bunga dalam pinjaman sudah menjadi kebiasaan sejak dulu.

Di Yunani Kuno, praktik riba juga cukup umum. Namun, para filsuf seperti Aristoteles menentangnya karena dianggap tidak alami. Bagi Aristoteles, uang tidak seharusnya “melahirkan” uang. Uang hanyalah alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan keuntungan semata dari orang lain.

Di Roma, bunga atas pinjaman dibatasi oleh hukum. Tapi dalam praktiknya, tetap saja banyak yang melanggar batasan itu. Jadi walaupun riba sempat diatur oleh hukum, bukan berarti praktik ini berhenti begitu saja.

Riba dalam Konteks Agama

Islam bukan satu-satunya agama yang menentang riba. Dalam agama Yahudi, ada larangan untuk mengenakan bunga kepada sesama orang Yahudi. Dalam Perjanjian Lama (Kitab Ulangan 23:19-20), disebutkan bahwa seseorang tidak boleh meminjamkan uang dengan bunga kepada saudaranya.

Sementara dalam Kekristenan, khususnya pada masa awal gereja, riba juga dilarang. Banyak pemuka gereja di Abad Pertengahan yang mengecam praktik pemberian bunga karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap orang miskin. Namun seiring perkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi, pandangan terhadap bunga mulai melunak, terutama sejak era Reformasi dan berkembangnya kapitalisme.

Perkembangan Riba di Sistem Keuangan Modern

Masuk ke era modern, sistem keuangan global pada umumnya dibangun di atas praktik bunga. Bank-bank konvensional memberikan pinjaman dengan bunga, dan ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama mereka. Dalam ekonomi kapitalis, bunga dianggap sebagai kompensasi atas risiko dan waktu yang diberikan oleh si peminjam.

Namun, munculnya sistem ekonomi Islam di abad ke-20 membawa pendekatan yang berbeda. Sistem keuangan syariah menolak praktik bunga dan menggantinya dengan konsep bagi hasil (mudharabah atau musyarakah), jual beli (murabahah), sewa (ijarah), dan lain-lain. Prinsip dasarnya adalah keadilan dan kesetaraan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.

Lembaga-lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, koperasi syariah, dan lembaga keuangan mikro Islam mulai tumbuh di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka menawarkan produk keuangan yang bebas riba dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Misalnya, dalam produk pembiayaan rumah, bank syariah tidak menggunakan sistem bunga, tapi menjual rumah kepada nasabah dengan harga yang sudah ditentukan sejak awal (akad murabahah), lalu nasabah mencicil sesuai kesepakatan.

Kenapa Riba Dilarang?

Larangan riba bukan tanpa alasan. Salah satu alasan utama adalah karena riba dianggap merugikan salah satu pihak, khususnya peminjam. Dalam situasi ekonomi yang sulit, orang yang meminjam dengan sistem bunga bisa terjerat dalam utang berkepanjangan, karena bunga terus bertambah dari waktu ke waktu.

Selain itu, riba bisa menciptakan ketimpangan ekonomi. Orang yang punya modal bisa terus mengeruk keuntungan tanpa berusaha, sementara yang kekurangan terus terbebani. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Islam mengajarkan bahwa dalam transaksi keuangan, semua pihak harus saling menguntungkan dan tidak boleh ada yang merasa dirugikan. Prinsip akad dalam Islam menekankan transparansi, kerelaan, dan keadilan.

Kesimpulan

Riba adalah tambahan yang dikenakan atas pokok pinjaman dan dilarang dalam Islam karena dianggap tidak adil dan merugikan. Meskipun sudah dikenal sejak zaman kuno, praktik ini tetap menjadi isu kontroversial dalam dunia keuangan hingga saat ini. Sistem keuangan konvensional masih mengandalkan bunga sebagai sumber utama keuntungan, sementara sistem keuangan syariah hadir sebagai alternatif yang lebih etis dan adil.

Dengan semakin berkembangnya kesadaran umat terhadap pentingnya transaksi yang halal dan etis, sistem keuangan syariah terus tumbuh. Kamu yang ingin menghindari riba, bisa mulai mencari tahu dan memanfaatkan produk-produk keuangan syariah yang sekarang sudah banyak tersedia, baik di bank maupun lembaga keuangan lainnya.

Semoga artikel ini bisa membantu kamu memahami lebih dalam tentang apa itu riba dan kenapa penting untuk menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel Sebelumnya
Artikel Berikutnya

Baca Juga