Islamic Banking (Perbankan Islam), juga disebut sebagai keuangan Islam atau keuangan yang sesuai dengan Syariah, mengacu pada aktivitas keuangan yang mematuhi Syariah (hukum Islam). Dua prinsip dasar Islamic Banking adalah pembagian keuntungan dan kerugian serta larangan penagihan dan pembayaran bunga oleh pemberi pinjaman dan investor.
Cara Kerja Praktik Islamic Banking
Ada lebih dari 560 bank dan lebih dari 1.900 reksa dana di seluruh dunia yang mematuhi prinsip-prinsip Islam. Antara tahun 2015 dan 2021, aset keuangan Islam tumbuh menjadi sekitar $4 triliun dari $2,17 triliun dan diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar $5,9 triliun pada tahun 2026, menurut laporan tahun 2022 oleh Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) dan Refinitiv. Pertumbuhan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya ekonomi negara-negara Muslim (terutama yang telah diuntungkan oleh kenaikan harga minyak).
Islamic Banking didasarkan pada prinsip-prinsip agama Islam yang berkaitan dengan transaksi komersial. Prinsip-prinsip Islamic Banking bersumber dari Al-Quran, yang merupakan teks keagamaan utama Islam. Dalam Islamic Banking, semua transaksi harus mematuhi Syariah, kode hukum Islam (berdasarkan ajaran Al-Quran). Aturan yang mengatur transaksi komersial dalam Islamic Banking disebut sebagai fiqh al-muamalat.
Karyawan lembaga yang mematuhi Islamic Banking dipercaya untuk tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Al-Quran saat mereka menjalankan bisnis. Ketika informasi atau bimbingan lebih lanjut diperlukan, bankir Islam beralih ke ulama terpelajar atau menggunakan penalaran independen berdasarkan keilmuan dan praktik adat.
Salah satu perbedaan utama antara sistem perbankan konvensional dan Islamic Banking adalah bahwa Islamic Banking melarang riba dan spekulasi. Syariah secara tegas melarang segala bentuk spekulasi atau perjudian, yang disebut sebagai maisir.
Syariah juga melarang mengambil bunga atas pinjaman. Selain itu, setiap investasi yang melibatkan barang atau zat yang dilarang dalam Al-Quran—termasuk alkohol, perjudian, dan daging babi—juga dilarang.
Dengan cara ini, Islamic Banking dapat dianggap sebagai bentuk investasi etis yang berbeda secara budaya. Untuk mendapatkan uang tanpa praktik umum mengenakan bunga, bank Islam menggunakan sistem penyertaan ekuitas. Penyertaan ekuitas berarti jika bank meminjamkan uang kepada suatu bisnis, bisnis tersebut akan membayar kembali pinjaman tersebut tanpa bunga dan sebagai gantinya memberikan bagian keuntungannya kepada bank.
Jika bisnis tersebut gagal bayar atau tidak memperoleh keuntungan, maka bank juga tidak mendapatkan keuntungan. Secara umum, lembaga Islamic Banking cenderung lebih menghindari risiko dalam praktik investasinya. Akibatnya, mereka biasanya menghindari bisnis yang dapat dikaitkan dengan gelembung ekonomi.
Sejarah Islamic Banking
Praktik Islamic Banking biasanya ditelusuri kembali ke para pebisnis di Timur Tengah yang mulai terlibat dalam transaksi keuangan dengan rekan-rekan mereka di Eropa selama era Abad Pertengahan.
Pada awalnya, mereka menggunakan prinsip keuangan yang sama dengan orang Eropa. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring berkembangnya sistem perdagangan dan negara-negara Eropa mulai mendirikan cabang-cabang lokal bank mereka di Timur Tengah, beberapa bank ini mengadopsi kebiasaan lokal di wilayah tempat mereka baru didirikan, terutama sistem keuangan tanpa bunga yang bekerja dengan metode bagi hasil untung-rugi. Dengan mengadopsi praktik-praktik ini, bank-bank Eropa ini juga dapat melayani kebutuhan para pebisnis lokal yang beragama Islam. Meskipun mayoritas lembaga Islamic Banking ini didirikan di negara-negara Muslim, bank-bank Islam juga dibuka di Eropa Barat pada awal tahun 1980-an. Selain itu, sistem perbankan nasional tanpa bunga telah dikembangkan oleh pemerintah Iran, Sudan, dan (pada tingkat yang lebih rendah) Pakistan.
Contoh Islamic Banking
Bank Tabungan Mit-Ghamr, yang didirikan pada tahun 1963 di Mesir, secara umum disebut sebagai contoh pertama Islamic Banking di dunia modern. Ketika Mit-Ghamr meminjamkan uang kepada para pebisnis, ia melakukannya berdasarkan model bagi hasil.
Proyek Mit-Ghamr ditutup pada tahun 1967 karena faktor politik, tetapi selama tahun operasinya, bank tersebut sangat berhati-hati, hanya menyetujui sekitar 40% dari aplikasi pinjaman bisnisnya. Namun, pada masa ekonomi yang baik, rasio gagal bayar bank tersebut dikatakan nol.
Kesimpulan
Islamic Banking juga disebut sebagai keuangan Islam atau keuangan yang sesuai dengan Syariah. Hal ini mengacu pada kegiatan keuangan atau perbankan yang mematuhi hukum Islam. Ada banyak perbedaan antara keuangan Islam dan keuangan arus utama, tetapi dua yang paling penting adalah metode pembagian keuntungan dan kerugian, dan larangan penagihan dan pembayaran bunga oleh pemberi pinjaman dan investor. Syariah juga melarang pengambilan bunga atas pinjaman. Bank Islam memperoleh laba melalui penyertaan modal, yang mengharuskan peminjam untuk memberikan bagian keuntungan mereka kepada bank, alih-alih membayar bunga.