BerandaIstilahFloating Exchange Rate

Floating Exchange Rate

Floating Exchange Rate adalah rezim di mana harga mata uang suatu negara ditentukan oleh pasar valas berdasarkan penawaran dan permintaan relatif terhadap mata uang lainnya. Hal ini berbeda dengan nilai tukar tetap, dimana pemerintah sepenuhnya atau sebagian besar menentukan nilai tukar.

Cara Kerja Floating Exchange Rate

Sistem Floating Exchange Rate berarti perubahan harga mata uang jangka panjang mencerminkan kekuatan ekonomi relatif dan perbedaan suku bunga antar negara. Pergerakan jangka pendek dalam mata uang dengan Floating Exchange Rate mencerminkan spekulasi, rumor, bencana, serta penawaran dan permintaan sehari-hari terhadap mata uang tersebut. Jika pasokan melebihi permintaan maka mata uang akan turun, dan jika permintaan melebihi pasokan maka mata uang akan naik. Pergerakan jangka pendek yang ekstrim dapat mengakibatkan intervensi oleh bank sentral, bahkan dalam kondisi suku bunga mengambang. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar mata uang utama global dianggap mengambang, bank sentral dan pemerintah dapat mengambil tindakan jika mata uang suatu negara menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah. Mata uang yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat berdampak negatif terhadap perekonomian suatu negara, mempengaruhi perdagangan dan kemampuan membayar utang. Pemerintah atau bank sentral akan berupaya menerapkan langkah-langkah untuk menggerakkan mata uang mereka ke harga yang lebih menguntungkan.

Floating Exchange Rate vs. Fixed Exchange Rates/Nilai Tukar Tetap

Harga mata uang dapat ditentukan dengan dua cara: kurs mengambang atau kurs tetap. Seperti disebutkan di atas, tingkat bunga mengambang biasanya ditentukan oleh pasar terbuka melalui penawaran dan permintaan. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap mata uang tersebut tinggi maka nilainya akan meningkat. Jika permintaan rendah, hal ini akan menyebabkan harga mata uang tersebut turun. Suku bunga tetap atau terpatok ditentukan oleh pemerintah melalui bank sentralnya. Nilai tukar ditetapkan terhadap mata uang utama dunia lainnya (seperti dolar AS, euro, atau yen). Untuk menjaga nilai tukarnya, pemerintah akan membeli dan menjual mata uangnya sendiri terhadap mata uang yang dipatoknya. Beberapa negara yang memilih mematok mata uangnya terhadap dolar AS antara lain Tiongkok dan Arab Saudi.

Mata uang sebagian besar negara-negara besar dunia dibiarkan mengambang bebas setelah runtuhnya sistem Bretton Woods antara tahun 1968 dan 1973.

Sejarah Floating Exchange Rate Melalui Perjanjian Bretton Woods

Konferensi Bretton Woods, yang menetapkan standar emas untuk mata uang, diadakan pada bulan Juli 1944. Sebanyak 44 negara bertemu, dengan peserta terbatas pada Sekutu dalam Perang Dunia II. Konferensi tersebut membentuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, dan menetapkan pedoman untuk sistem nilai tukar tetap. Sistem ini menetapkan harga emas sebesar $35 per ons, dengan negara-negara peserta mematok mata uang mereka terhadap dolar. Penyesuaian plus atau minus 1% diizinkan. Dolar AS menjadi mata uang cadangan yang digunakan bank sentral untuk melakukan intervensi untuk menyesuaikan atau menstabilkan suku bunga. Retakan besar pertama dalam sistem ini muncul pada tahun 1967, dengan penurunan harga emas dan serangan terhadap pound Inggris yang menyebabkan devaluasi sebesar 14,3%. Presiden Richard Nixon melepaskan Amerika Serikat dari standar emas pada tahun 1971. Sejarah Federal Reserve. “Nixon Mengakhiri Konvertibilitas Dolar AS menjadi Emas dan Mengumumkan Kontrol Upah/Harga.” Pada akhir tahun 1973, sistem tersebut telah runtuh, dan mata uang yang berpartisipasi dibiarkan mengambang bebas.

Upaya Gagal untuk Melakukan Intervensi dalam Mata Uang

Dalam sistem Floating Exchange Rate, bank sentral membeli atau menjual mata uang lokalnya untuk menyesuaikan nilai tukar. Hal ini dapat ditujukan untuk menstabilkan pasar yang bergejolak atau mencapai perubahan besar pada nilai tukar. Kelompok bank sentral, seperti negara-negara G-7 (Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat), sering bekerja sama dalam intervensi terkoordinasi untuk meningkatkan dampaknya.

Intervensi seringkali bersifat jangka pendek dan tidak selalu berhasil. Contoh nyata dari kegagalan intervensi terjadi pada tahun 1992 ketika pemodal George Soros mempelopori serangan terhadap pound Inggris. Mata uang tersebut memasuki Mekanisme Nilai Tukar Eropa (ERM) pada Oktober 1990; ERM dirancang untuk membatasi volatilitas mata uang sebagai awal menuju euro, yang masih dalam tahap perencanaan.

Soros percaya bahwa pound telah masuk pada tingkat yang terlalu tinggi, dan dia melancarkan serangan bersama terhadap mata uang tersebut. Bank of England terpaksa mendevaluasi mata uangnya dan menarik diri dari ERM. Intervensi yang gagal ini merugikan Departemen Keuangan Inggris sebesar £3,3 miliar. Soros, sebaliknya, menghasilkan lebih dari $1 miliar.

Bank sentral juga dapat melakukan intervensi secara tidak langsung di pasar mata uang dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga untuk mempengaruhi aliran dana investor ke negara tersebut. Karena upaya untuk mengendalikan harga dalam batasan yang ketat secara historis telah gagal, banyak negara memilih untuk mengambangkan mata uang mereka secara bebas dan kemudian menggunakan alat ekonomi untuk membantu mendorongnya ke satu arah atau yang lain jika mata uang tersebut bergerak terlalu jauh demi kenyamanan mereka.

Kesimpulan

Floating Exchange Rate pada dasarnya adalah cara sebagian besar mata uang dinilai saat ini. Artinya, nilai suatu mata uang ditentukan oleh penawaran dan permintaan mata uang tersebut. Hal ini berbeda dengan metode lain, seperti nilai suatu mata uang berdasarkan nilai aset tertentu yang dimilikinya, misalnya emas, atau suatu negara memutuskan untuk menetapkan atau mematok mata uangnya.

Artikel Sebelumnya
Artikel Berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terbaru