Apa itu Labor Theory of Value?
Labor Theory of Value (LTV) adalah upaya awal para ekonom untuk menjelaskan mengapa barang dipertukarkan dengan harga relatif tertentu di pasar. Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu komoditas ditentukan oleh dan dapat diukur secara objektif oleh rata-rata jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Dalam Labor Theory of Value (LTV), jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam memproduksi suatu barang ekonomi adalah sumber nilai barang tersebut.
Para pendukung Labor Theory of Value (LTV) yang paling terkenal adalah Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx. Sejak abad ke-19, Labor Theory of Value (LTV) telah kehilangan dukungan di antara sebagian besar ekonom mainstream
Memahami Labor Theory of Value
Teori nilai kerja menyatakan bahwa dua komoditas akan diperdagangkan dengan harga yang sama jika keduanya mengandung jumlah waktu kerja yang sama, atau sebaliknya, keduanya akan ditukar pada rasio yang ditentukan oleh perbedaan relatif dalam dua waktu kerja tersebut. Misalnya, jika dibutuhkan 20 jam untuk berburu rusa dan 10 jam untuk menjebak berang-berang, maka rasio pertukarannya adalah dua berang-berang untuk satu rusa.
Labor Theory of Value (LTV) pertama kali digagas oleh para filsuf Yunani kuno dan abad pertengahan. Kemudian, dalam mengembangkan Labor Theory of Value (LTV) mereka, baik Smith (dalam The Wealth of Nations) maupun Ricardo memulai dengan membayangkan “keadaan primitif dan awal” hipotetis umat manusia yang terdiri dari produksi komoditas sederhana.12 Ini tidak dimaksudkan sebagai realitas yang akurat atau historis; itu adalah eksperimen pemikiran untuk mendapatkan versi teori yang lebih berkembang. Dalam keadaan awal ini, hanya ada produsen mandiri dalam perekonomian yang semuanya memiliki bahan, peralatan, dan alat yang mereka butuhkan untuk berproduksi. Tidak ada perbedaan kelas antara kapitalis, pekerja, dan pemilik tanah, sehingga konsep modal seperti yang kita kenal belum berperan.
Mereka mengambil contoh sederhana dunia dua komoditas yang terdiri dari berang-berang dan rusa. Jika lebih menguntungkan untuk memproduksi rusa daripada berang-berang, akan ada migrasi orang-orang ke produksi rusa dan keluar dari produksi berang-berang. Pasokan rusa akan meningkat, menyebabkan pendapatan dalam produksi rusa menurun—dengan kenaikan simultan dalam pendapatan berang-berang karena lebih sedikit yang memilih pekerjaan itu. Penting untuk dipahami bahwa pendapatan produsen mandiri diatur oleh kuantitas tenaga kerja yang terkandung dalam produksi, sering kali dinyatakan sebagai waktu kerja. Smith menulis bahwa tenaga kerja adalah uang pertukaran asli untuk semua komoditas, dan oleh karena itu semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam produksi, semakin besar nilai barang tersebut dalam pertukaran dengan barang lain secara relatif.
Sementara Smith menggambarkan konsep dan prinsip dasar LTV, Ricardo tertarik pada bagaimana harga relatif antara komoditas tersebut diatur.4 Ambil lagi contoh produksi berang-berang dan rusa. Jika dibutuhkan 20 jam kerja untuk memproduksi satu berang-berang dan 10 jam kerja untuk memproduksi satu rusa, maka satu berang-berang akan ditukar dengan dua rusa, keduanya sama dengan 20 unit waktu kerja. Biaya produksi tidak hanya melibatkan biaya langsung untuk berburu, tetapi juga biaya tidak langsung dalam produksi alat-alat yang diperlukan—perangkap untuk menangkap berang-berang atau busur dan panah untuk berburu rusa. Total kuantitas waktu kerja terintegrasi secara vertikal—termasuk waktu kerja langsung dan tidak langsung. Jadi, jika dibutuhkan 12 jam untuk membuat perangkap berang-berang dan delapan jam untuk menangkap berang-berang, itu sama dengan total 20 jam waktu kerja.
Labor Theory dan Marxism
The Labor Theory of Value (LTV) menjalin hampir setiap aspek analisis Marxis. Karya ekonomi Marx, Das Kapital, hampir seluruhnya didasarkan pada ketegangan antara pemilik kapitalis dari alat-alat produksi dan kekuatan kerja proletariat kelas pekerja.
Marx tertarik pada Labor Theory of Value (LTV) karena ia percaya bahwa tenaga kerja manusia adalah satu-satunya karakteristik umum yang dimiliki oleh semua barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar. Namun, bagi Marx, tidak cukup hanya dua barang memiliki jumlah tenaga kerja yang setara; sebaliknya, kedua barang tersebut harus memiliki jumlah tenaga kerja yang “dibutuhkan secara sosial” yang sama.
Marx menggunakan Labor Theory of Value (LTV) untuk melancarkan kritik terhadap ekonom klasik pasar bebas dalam tradisi Adam Smith. Ia bertanya, jika semua barang dan jasa dalam sistem kapitalis dijual dengan harga yang mencerminkan nilai sebenarnya, dan semua nilai diukur dalam jam kerja, bagaimana kapitalis dapat menikmati keuntungan kecuali mereka membayar pekerja mereka kurang dari nilai riil tenaga kerja mereka? Atas dasar inilah Marx mengembangkan teori eksploitasi kapitalisme.
Kritik terhadap Labor Theory of Value
Teori Nilai Tenaga Kerja (Labor Theory of Value (LTV)) mengarah pada masalah-masalah yang jelas secara teoretis maupun praktis. Salah satu kritik adalah bahwa dimungkinkan untuk mencurahkan sejumlah besar waktu kerja untuk menghasilkan barang yang pada akhirnya memiliki sedikit atau tanpa nilai. Namun, pembacaan yang lebih cermat menunjukkan fakta bahwa komoditas yang sesuai dengan Labor Theory of Value (LTV) akan memiliki nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value), dan dapat diproduksi ulang. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki permintaan di pasar atau dengan sedikit atau tanpa nilai guna tidak akan dianggap sebagai komoditas menurut Labor Theory of Value (LTV). Hal yang sama berlaku untuk objek unik seperti karya seni rupa, yang juga akan dikecualikan. Mungkin dibutuhkan waktu lebih lama bagi satu orang daripada yang lain untuk menghasilkan suatu komoditas. Konsep waktu kerja yang secara sosial diperlukan (socially necessary labor time) menurut Marx juga mengatasi masalah ini.
Kritik kedua adalah bahwa barang-barang yang membutuhkan jumlah waktu kerja yang sama untuk diproduksi sering kali memiliki harga pasar yang sangat berbeda secara teratur. Terlebih lagi, harga relatif barang yang diamati berfluktuasi sangat besar dari waktu ke waktu, terlepas dari jumlah waktu kerja yang dihabiskan untuk produksinya, dan seringkali tidak mempertahankan atau cenderung ke rasio stabil (atau harga alami) apa pun. Menurut Labor Theory of Value (LTV), ini seharusnya tidak mungkin, namun ini adalah norma harian yang mudah diamati.
Namun, harga pasar dan nilai adalah dua konsep yang berbeda (meskipun berhubungan erat). Meskipun harga pasar didorong oleh penawaran dan permintaan langsung suatu komoditas, harga-harga ini bertindak sebagai sinyal bagi produsen dan konsumen. Ketika harga tinggi, ini mendorong produsen untuk membuat lebih banyak (meningkatkan pasokan) dan menghalangi pembeli (mengurangi permintaan), atau sebaliknya. Akibatnya, dalam jangka panjang, harga cenderung berfluktuasi di sekitar nilai.
Teori Subyektif Mengambil Alih
Masalah-masalah Labor Theory of Value (LTV) akhirnya diselesaikan oleh teori nilai subyektif. Teori ini menetapkan bahwa nilai tukar didasarkan pada evaluasi subyektif individu terhadap nilai guna barang ekonomi. Nilai muncul dari persepsi manusia tentang kegunaan. Orang memproduksi barang ekonomi karena mereka menghargainya.
Penemuan ini juga membalikkan hubungan antara biaya input dan harga pasar. Sementara Labor Theory of Value (LTV) berpendapat bahwa biaya input menentukan harga akhir, teori subyektif menunjukkan bahwa nilai input didasarkan pada potensi harga pasar barang akhir. Teori nilai subyektif menyatakan bahwa alasan orang bersedia mencurahkan waktu kerja untuk memproduksi barang ekonomi adalah demi kegunaan barang-barang tersebut. Dalam arti tertentu, teori ini adalah kebalikan persis dari Labor Theory of Value (LTV). Dalam Labor Theory of Value (LTV), waktu kerja yang dikeluarkan menyebabkan barang ekonomi menjadi berharga; dalam teori nilai subyektif, nilai guna yang diperoleh orang dari barang menyebabkan mereka bersedia mencurahkan tenaga kerja untuk memproduksinya.
Teori nilai subyektif dikembangkan pada Abad Pertengahan oleh para pendeta dan biarawan yang dikenal sebagai Scholastics, termasuk St. Thomas Aquinas dan lainnya. Kemudian, tiga ekonom secara independen dan hampir bersamaan menemukan kembali dan memperluas teori nilai subyektif pada tahun 1870-an: William Stanley Jevons, Léon Walras, dan Carl Menger. Perubahan penting dalam ilmu ekonomi ini dikenal sebagai Revolusi Subyektif.